Eksistensi Pura Mekah Sebagai Harmonisasi Hindu - Islam di Banjar Binoh, Desa Ubung, Denpasar - Bali

Kehidupan umat dalam keberagaman agama dan budaya menarik untuk dikaji. Keberagaman tersebut menimbulkan suatu prinsip yang harus ditaati oleh para pemeluk dan dalam perkembangan tradisi budayanya. Tidaklah mudah untuk hidup berdampingan bila selalu terdapat perbedaan yang menimbulkan konflik. Namun untuk hal yang satu ini, justru dalam kehidupan keseharian dan dalam mengembangkan segala aktivitasnya saling berpengertian dan semoga selamanya dalam situasi yang penuh damai.

Hal tersebut di atas, keberadaannya tepat di pulau yang terdapat banyak pura dengan berbagai manifestasi yang dipancarkan, melalui sinar-sinar Tuhan dalam bentuk dewa-dewi, yang berstana di masing-masing bangunan suci pada pura di Bali. Yang menjadi pusat perhatian adalah adanya bangunan suci tempat pemujaan bukan umat Hindu saja, namun digunakan untuk melakukan pemujaan dengan menggunakan arah barat seperti umat Islam pada umumnya. Sehingga ketika hari suci pura itu datang dalam perhitungan enam bulan kalender Bali, maka diadakan Piodalan untuk merayakan hari berdirinya pura tersebut yang diperingati oleh umat Hindu di lingkungan Banjar Binoh dengan tata cara Hindu maupun Islam. Keunikan tersebut ada pada Pura Mekah. Dari namanya saja sudah mengandung cerminan dua agama yang bersanding yaitu Pura (Hindu) dan Mekah (Islam). Hal inilah yang menarik untuk penulis kaji dengan tujuan untuk memuliakan keberadaannya dalam harmonisasi, serta untuk menjadi suri tauladan kerukunannya bagi daerah lain di Indonesia dan dunia pada umumnya. Metodologi Penelitian menggunakan jenis penelitian kualitatif. Sumber data dari kepustakaan dan field research (data lapangan) yang diperoleh dari para pemuka agama maupun tokoh adat setempat. Teori yang digunakan adalah Teori Eksistensialisme, Teori Struktural Fungsional, Teori simbol dan Teori Religi. Sehingga temuan yang akan diperoleh adalah hubungan yang harmonis diantara kedua agama tersebut dan keunikan eksistensi masing – masing bangunan suci tempat stananya para dewa yang dipuja, serta hal yang menjadi aturan larangan untuk ditaati oleh seluruh umat yang memuja Pura Mekah.

Kata Kunci : Eksistensi dan Aturan Larangan di Pura Mekah.

 *)   Disampaikan pada Seminar Internasional Sastra Bandung pada tanggal 7-8 Oktober 2015 di Hotel Panghegar Bandung.

*)  Penulis adalah Dosen dan sebagai Wakil Dekan III Fakultas Brahma Widya Jurusan Teologi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Pendahuluan

Bali, kaya akan seni budaya yang adi luhung telah tercipta dengan penuh keindahan oleh nenek moyang sejak zaman dahulu. Kekayaan akan budaya tersebut dianut oleh agama yang telah ada sejak masa lalu baik Hindu, Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan maupun Budha. Khususnya di Bali, penduduk pada umumnya menganut agama Hindu 90% dan 10 % dianut agama yang lainnya. Keberadaan semua agama tersebut di Bali selama ini selalu berjalan dalam kondisi yang kondusif dan sebagai manusia patut bersyukur tercipta kerukunan antar umat beragama di Pulau Dewata ini. Keberadaan tersebut mengutamakan adanya rasa solidaritas umat, yang juga sebagai hamba Tuhan dengan penuh rasa kekeluargaan, agar terwujud rasa nyaman dan aman dalam menjalani kehidupan, dan tercipta rasa kedamaian secara lahir dan batin. Pemujaan umat Hindu di Bali disebut Pura. Pura sebagai tempat pemujaan umat Hindu memiliki nilai – nilai yang berkharakteristik magis religius. Sehingga bila memasuki areal pura dipastikan akan memperhatikan hal – hal seperti yang tercantum pada papan pengumuman obyek wisata yang sekaligus juga sebagai pura pemujaan umat Hindu di wilayah tersebut, yang isinya yaitu. (1). Sedang dalam keadaan tidak kotor kain atau menstruasi, (2). Tidak dalam sikon ada keluarga yang meninggal dan belum disucikan dengan upacara pegat sot atau upacara sebagai pemutus hubungan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal, serta (3). Orang yang baru habis melahirkan dan bayinya belum berumur 42 hari yang belum dibuatkan upacara penyucian, serta masih ada ketentuan lain yang berlaku sesuai dengan desa / tempat, kala / waktu dan patra / situasi. Sehingga melalui aturan kesucian itu, ketika umat Hindu sembahyang di pura akan merasakan getaran suci dan sinar kemahakuasaan Tuhan yang terpancar melalui konsentrasi batin yang tinggi dan jika semua telah dijalani maka akan bertemu dengan sinar-sinar Tuhan dengan penuh keajaiban. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan adanya usaha untuk menyempatkan diri hadir ke pura guna mengikuti jalannya upacara persembahyangan baik itu upacara dalam bentuk sederhana ataupun tingkatan upacaranya lebih tinggi.

Untuk keseharian biasanya umat Hindu melakukan persembahyangan di rumah masing-masing karena pada umumnya telah tersedia tempat untuk bersembahyang disebut Pemerajan atau Sanggah yang letaknya di sebelah timur laut atau dari kehidupan nenek moyang di masa lalu. Selain itu pula jika mempunyai ruangan kamar yang tidak ditempati pada umumnya dijadikan kamar suci. Melalui Pemerajan / Sanggah atau kemar suci itulah umat Hindu memohon keselamatan kehadapan Tuhan yang Mahaesa atau Ida SangHyang Widhi Wasa. Kumpulan dari beberapa merajan tersebut yang tentunya masih dalam satu marga di sebut Pura Dadia. Selanjutnya kumpulan dari Pura Dadia di wilayah kabupaten disebut dengan Pura Kawitan. Dan kumpulan dari beberapa kawitan yang masih dalam satu marga disebut Pura Pedharman yang terletak di Pura Besakih sebagai ibunya pura di Bali (mother of temple in Bali). Demikianlah susunan pura keluarga yang berada dalam satu marga yang berlaku juga pada marga yang lainnya. Pada tempat tersebut dipuja para dewa yang berstana juga para leluhur. Untuk pemujaan tersebut dilakukan dengan menggunakan sarana berupa bangunan suci yang terbuat dari batu padas juga kayu serta patung yang disebut dengan pratima. Menurut Sivananda, (2003 : 121) dijelaskan bahwa.

Pratima atau patung merupakan pengganti atau simbol gambaran sebuah kuil, walaupun terbuat dari batu, kayu atau logam sangat berharga bagi serang penyembah, karena hal itu menandakan Tuhannya dan menggantikan sesuatu yang disucikan dan abadi. Sebuah bendera adalah sepotong kain yang dicat, namun bagi seorang prajurit benda tersebut merupakan pengganti sesuatu yang dianggap paling dicintainya yang sanggup berkorban mempertahankan benderanya. Demikian pula gambaran yang sangat disayangi oleh para pemujanya, yang berkata kepadanya dalam bahasa bhaktinya sendiri. Seperti bendera yang membangkitkan keperkasaan seorang prajurit, demikian pula gambaran yang membangkitkan rasa bhakti para pemujanya. Tuhan menempatkan diri di atas gambaran, dan gambaran itu membangkitkan pemikiran Tuhan dalam diri si pemuja.

Melalui pemahaman akan pratima tersebut, sesungguhnya semakin dapat dimengerti bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah sebagai alat perantara untuk memuja yang dipuja. Seperti halnya pratima tersebut, bila telah distanakan di ruangan suci ataupun di bangunan suci / pelinggih, maka ada waktunya untuk disucikan dengan menggunakan air suci ataupun air kelapa muda dan setelah disucikan para dewa kembali disthanakan pada tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah disthanakan maka umat Hindu datang untuk menghaturkan suguhan berupa sesajen dari isi alam dengan tujuan untuk menghormati para dewa beserta para leluhur agar senantiasa memberikan perlindungan kepada umatNya dimana pun berada untuk selalu dalam keadaan sehat dan selamat, murah sandang pangan, memperoleh umur panjang dan kesejahteraan bersama seluruh keluarganya. Untuk terwujudnya hal itu, maka setiap pura dilaksanakan upacara sebagai rasa bhakti umat kepada Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya.

Tidak terkecuali dari sekian banyak pura di Bali, ada salah satu pura yang mempunyai keunikan dibandingkan dengan pura lainnya yang tidak menggunakan tata cara seperti yang umat Hindu lakukan saat tiba waktunya untuk memperingati hari suci atau piodalan sebagai hari lahirnya pura itu. Hal tersebut terjadi pada pura marga / keluarga. Sehubungan dengan hal itu ada pura marga atau masih disebut pura keluarga yang tatacaranya masih menggunakan tata cara Islam dalam melaksanakan upacara, serta hal yang cukup unik yang tidak pernah ada pada agama Hindu. Jenis upacaranya pun sangat terkait erat dengan tatacara menggunakan arah barat dalam ajaran agama Islam dan haram menggunakan daging babi. Hal itu dimungkinkan terjadi karena ada kaitan erat dengan para musafir Islam yang datang ke Bali ini, sehingga meninggalkan warisan tata cara yang patut dilaksanakan oleh warga tersebut. kaitannya dengan pura marga / keluarga merupakan pura yang pendiriannya terkait dengan hadirnya musafir / para pedagang Islam Arab ke wilayah Bali yang ditandai dengan adanya bangunan suci yang disebut Pura Mekah. Pura ini terletak di Banjar Binoh Kecamatan Denpasar Utara Kabupaten Badung. Untuk mengetahui lebih jauh tentang pura ini, sangat perlu mengkajinya dengan mengetahui permasalahan sebagai berikut. (1) bagaimana eksistensi Pura Mekah tersebut ? (2) bagaimana keunikan pura Mekah itu? dan (3) bagaimana makna Pura Mekah tersebut dalam kehidupan warga di Banjar Binoh Denpasar? Untuk mengetahui hal itu maka akan dibahas lebih lanjut melalui beberapa hasil pemotretan yang telah diambil.

Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan penelitian secara umum adalah agar umat Hindu pada umumnya memahami Pura Mekah sebagai salah satu peninggalan para pedagang Islam, yang patut dilestarikan eksistensinya sehingga bisa dipahami oleh umat Hindu pada umumnya, sehingga para peneliti yang ingin mengetahui jejak langkah para musafir / pedagang Islam dari Negeri Arab di masa lalu bisa ditelusuri peninggalannya yang ada di Bali hingga kini secara mendalam dan dapat dijadikan suri tauladan adanya kerukunan atau keharmonisasian Hindu-Islam bukan saja dalam kehidupan sehari-hari tapi menggunakan tatacara Islam yang patut dijalankan. Sedangkan tujuan khususnya adalah agar mampu mengetahui secara luas eksistensi pura Mekah tersebut, mengetahui sisi keunikan Pura Mekah itu, dan untuk diketahui makna Pura Mekah tersebut dalam kehidupan warga di Banjar Binoh Kecamatan Denpasar Utara tersebut. Untuk mengupas permasalahan tersebut didukung oleh beberapa teori. Untuk itu perlu dipahami terlebih dahulu tentang landasan teori.

Menurut Kaelan (2012 : 251) disebutkan bahwa.
”Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan landasan bagi realisasi pelaksanaan penelitian. Selain itu, landasan teori juga berfungsi sebagai dasar strategi dalam pelaksanaan penelitian. Secara epistemologis landasan teori adalah sebagai tuntunan dalam memecahkan maslah penelitian. Dalam penelitian kualitatif bidang agama interdisipliner, landasan teori ini juga merupakan suatu uraian yang sifatnya kualitatif. Landasan teori yang mendasari obyek formal dan obyek material penelitian adalah pemikiran yang merupakan penuntun bagi pemecahan masalah yang berkaitan dengan obyek formal maupun obyek material penelitian.”

Penjelasan di atas memberi ruang yang seluas – luasnya untuk berpikir dan mendalami suatu ilmu pengetahuan dengan memecahkan permasalahannya melalui berbagai teori yang mendukung pelaksanaan penelitian. Untuk segala disiplin ilmu dalam penyelesaian masalah selalu diberikan kesempatan untuk menggunakan teori – teori yang bisa menghasilkan temuan yang baru sehingga dapat memberi kesempatan kepada peneliti berikutnya untuk membuka cakrawala berpikir lebih mantap untuk mengembangkan ide –idenya sehingga pengetahuan akan semakin berkembang. Untuk itu dalam kaitannya dengan permasalahan yang terkait dengan Pura Mekah di atas, akan digunakan beberapa teori yang mendukung penyelesaiannya sebagai berikut.

1. 1 Teori Ekstensialisme
1. 2 Teori Fungsional Struktural
1. 3 Teori Simbol
1. 4 Teori Religi

1.1 Teori Eksistensialisme

Terkait dengan keberadaan pura Mekah yang letaknya di Banjar Binoh Desa Ubung Denpasar Utara itu, untuk mengetahui lebih jauh pemahamannya digunakan salah satu teori hubungan antara manusia dengan lingkungannya agar tercipta suatu keadaan yang kondusif dan mendapat suatu ketenangan jiwa. Sehubungan dengan hal itu ada beberapa pendapat yang terkait dengan teori ini.

Menurut Heidegger dalam Supraktiknya (1993 : 182), dalam Andhewi (2015 : 21) disebutkan bahwa.
”Eksistensi mengandung konsep design yang berarti ”ada di tempat sana” (to be the there) / ”di tempat sana” tentulah bukan dunia sebagai dataran luar, melainkan keterbukaan dunia yang menerangi dan memahami sesuatu keadaan, ada di dunia karena suatu eksistensi individu yang ada dan dapat muncul dan menjadi hadir dan hadir. Ruang ada di sana mengungkapkan sifat langsung dan tidak terelakkan dari kondisi eksistensial. Manusia tidak memiliki eksistensi terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki eksistensi terlepas dari manusia.

Cara manusia memandang akan sesuatu melalui pemahaman akan lingkungan dirinya berada yang penuh rasa saling terbuka. Sehubungan dengan hal itu segalanya yang ada tercurahkan lewat suatu keadaan yang sewajarnya muncul dan seharusnya memang hadir ada di sekitarnya. Hal itu terlihat alami karena bersifat langsung dan tak terelakkan kemunculannya. Sehingga antara manusia dan keberadaan atau eksistensi selalu hidup berdampingan karena sesungguhnya sama-sama saling membutuhkan.

Hal lain juga menurut Ihsan (2010 : 177), dalam Andhewi (2015 : 21) dijelaskan pula bahwa.
”Cara berada manusia dan benda lain tidak sama. Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia berada di alam dunia; ia mengilhami beradanya di dunia itu : manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon batu dan salah satu diantaranya ialah mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini? Artinya adalah bahwa manusia adalah subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar, Barang-barang yang disadari disebut obyek.

Itulah perbedaan manusia dengan makhluk lainnya yang mempunyai kelebihan berpikir dan bisa menentukan hal mana yang baik dan mana yang buruk yang disebut dengan wiweka jnana. Hanya manusia yang mampu mengetahui dan menyadari akan adanya kelebihan dan kekurangan dirinya, sebab manusia memiliki Tri Pramana (bayu, sabda dan idep). Bayu, manusia bisa bernafas; sabda, manusia bisa berbicara / bersuara; dan idep, manusia bisa berpikir untuk menentukan segalanya. Hewan atau binatang hanya memiliki dwi pramana saja, yaitu bayu dan sabda. Sedangkan tumbuh – tumbuhan memiliki Eka Pramana hanya bayu saja. Dengan kelengkapan yang manusia miliki maka bersyukurlah sebagai hamba Tuhan yang senantiasa diberi anugerah kelengkapan yang luar biasa sehingga mempu untuk memahami arti hidup dan kehidupan serta mampu untuk meraih seberkas sinar yang Tuhan miliki melalui kematangan jiwa yoga serta meditasi. Dengan pendalaman tersebut manusia sadar sebagai subyek dan memahami benda di sekitarnya sebagai obyek.

2. Teori Struktural Fungsional

Menurut Kaplan (1999 : 76) dalam Pratama (2009 : 16) terkait dengan Teori Struktural Fungsional disebutkan bahwa.
”Ada suatu kaidah yang mendasar bagi antropologis bahwa peneliti harus mengeksplorasi ciri sistematika budaya. Yang artinya peneliti harus mengetahui keterikatan antara instansi atau struktur – struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat.”

Terkait dengan hal di atas, menentukan bahwa setiap peneliti mempunyai kelemahan dan kekuatan dalam menyelesaikan penelitiannya. Melalui penggunaan teori ini diharapkan agar peneliti bisa sebagai penguat untuk cepat menanggapi permasalahan dalam penelitian, utamanya mampu untuk membangun struktur – struktur solusi, yang terkait dengan kehidupan masyarakat, sehingga peran peneliti bisa dijadikan alat atau sarana, untuk menemui hal yang baru secara utuh dan bulat melalui kekuatannya dalam mengolah data untuk menghasilkan yang diharapkan.

Prastika (2004 : 9-11) dalam Idem pun disebutkan bahwa.
”Teori struktural fungsional menekankan pada keteraturan (order), konsep utamanya adalah fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan (equiliberium). Paham Fungsional menyatakan bahwa struktur masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian – bagian atau elemen – elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah setiap struktural dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lainnya.”

Terkait dengan tulisan ini menggunakan teori struktural fungsional, maka dihubungkan dengan bentuk dari bangunan suci yang ada pada areal Pura Mekah dengan menitikberatkan pada susunan bangunan suci itu, dengan mengembangkan fungsi dari bangunan tersebut, yang sesungguhnya semua bangunan suci itu saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula suguhan yang dihaturkan pada bangunan suci itu ada berbagai bentuk sesajen dan bentuk jajan suci yang dipersembahkan. Dalam hal ini hanya diperlihatkan bentuk jajanan suci itu tanpa susunan atau struktur jajan ketika dipersembahkan. Jadi hanya berupa contoh bentuk yang digunakan ketika upacara dilangsungkan. Sehingga bangunan suci dan jajanan suci tersebut letaknya sesungguhnya berstruktur masing-masing dan mempunyai fungsi dari bentuk tersebut dengan harapan agar semua mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.

3. Teori Simbol

Menurut Victor Tuner dalam Winangun (1990 : 18) dalam Pratama (2009 : 18) terkait dengan teori simbol dijelaskan bahwa.
”Simbol adalah suatu hal yang diterima dengan persetujuan umum sehingga yang mewakili atau yang menjadi ciri khas dari suatu yang dipenuhi dengan kualitas analogi atau yang terdapat dalam kenyataan atau pikiran. Selama suatu simbol hidup, simbol itu adalah suatu ekspresi suatu hal yang tidak dapat ditandai dengan tanda yang tepat. Simbol yang hidup selama mempunyai arti bagi kelompok manusia yang besar, sebagai suatu yang menjadi milik bersama sehingga menjadi simbol sosial yang hidup yang pengaruhnya menghidupkan. Simbol adalah sesuatu yang perlu ditangkap (ditafsir) maknanya dan pada giliran berikutnya dibagikan oleh dan kepada masyarakat dan diwariskan kepada anak cucu.

Melalui simbol yang ada, akan memberi petunjuk atau arah yang tepat guna memaknai sesuatu hal yang sedang menjadi permasalahan. Dalam hal terkait dengan tulisan ini, simbol terletak pada bentuk bangunan suci yang merupakan sthananya para dewa dan jajan suci yang terkadang menjadi dasar bentuk senjata para dewa. Sehingga simbol akan memberikan penerangan dan penyinaran pada pikiran yang memujanya. Terkadang simbol juga sebagai suatu ciri khas yang membedakan hal yang satu dengan yang lainnya. Namun simbol tetap mewakili suatu keadaan / benda yang merepresentasikan sesuatu namun hanya bisa diungkap oleh orang yang bijaksana.

4. Teori Religi

Teori ini menurut Koentjaraningrat dalam Wisparina (2013 : 20) dalam Dewi (2015 : 29) disebutkan bahwa.
”Religi adalah sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional. Religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk - makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa dan sebagiannya yang menempati alam.

Setiap masyarakat tradisional memiliki sistem kepercayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Kepercayaannya bersifat magis ada yang animisme dan dinamisme. Percaya akan adanya benda yang mempunyai spirit atau roh, juga adanya kepercayaan akan sesuatu hal yang mempunyai kekuatan gaib. Sesungguhnya kekuatan itu meliputi semua ruang yang membedakannya adalah frekuensinya besar atau kecil. Sebab lingkungan alam yang tidak nyata tersebut, sesungguhnya tidak beda pula dengan kehidupan di dunia nyata, hanya saja tidak semua orang bisa melihatnya dengan kasat mata. Teori religi ini digunakan keterkaitannya pada hal - hal yang ada hubungannya dengan segala kekuatan magis yang ada di Pura Mekah.

Sehubungan dengan hal itu, Ghazali (2011 : 73-74) juga menyebutkan bahwa.
”Taylor berpendapat dalam bukunya ”Primitive Culture” dijelaskan bahwa manusia pertama mengamati dirinya dan manusia di sekitarnya serta mengambil konklusi mengenai adanya ”jiwa” dan ”anima” yang menurutnya penemuan ini melalui jalur pemikiran mimpi dan kematian. Disebutkan pula bentuk kepercayaan asal manusia adalah animisme. Teori ini timbul atas dua hal. Pertama, adanya dua hal yang nampak, yakni hidup dan mati, bahwa kehidupan diakibatkan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya. Kedua, adanya peristiwa mimpi, sesuatu yang hidup dan berada di tempat lain pada waktu tidur, yakni jiwanya sendiri. Jiwa bersifat bebas dan berbuat sekehendaknya. Alam semesta penuh dengan jiwa – jiwa yang merdeka itu, yang disebut dengan soul atau spirit, atau makhluk halus. Pikiran manusia telah mentransformasikan kesadaran terhadap adanya jiwa menjadi kepercayaan terhadap makhluk – makhluk halus. Manusia melakukan penghormatan dan pemujaan melalui beberapa upacara berupa doa, sesaji atau korban. Kepercayaan semacam ini oleh Taylor disebut dengan animisme atau belifs in spiritual beings.

Pendapat Taylor di atas menunjukkan bahwa kekuatan jiwa sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Kekuatan roh atau jiwa- jiwa tersebut selalu hidup walaupun dunianya telah berbeda. Yang mati hanya badan kasarnya saja sedangkan badan halusnya tetap hidup dan mampu menembus ruang dan waktu. Sikapnya pun tidak bisa dipastikan ada yang kehausan, ada yang kelaparan, ada pula yang polos, serta ada pula yang bijaksana, sesuai dengan bawaan sikap masing – masing. Disamping itu ada pula yang mempunyai sifat sebaliknya yang terkadang mengganggu orang di sekitarnya. Semua itu dalam kepercayaan umat Hindu di Bali, dilakukan upacara persembahan termasuk doa, sesaji bahkan korban untuk menaklukkan makhluk – makhluk tersebut agar kembali ke alamnya sehingga kehidupan tetap tenang dan harmonis.

2. Pembahasan

Salah satu pura yang dikenal dan menjadi daya tarik yang disebabkan oleh adanya hubungan antara umat Hindu dengan tatacara Islam terwujud pada Pura Mekah yang terletak di Banjar Binoh Desa Ubung, Denpasar Utara. Pura tersebut mudah untuk dikunjungi karena berada pada area jalan raya yang cukup ramai dan hanya masuk ke dalam wilayah desa sekitar 300 meter dari jalan utama.

Menurut Ikiopo.com dijelaskan mengenai kedatangan Islam pertama di nusantara sebagai berikut.

Agama Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada Abad ke 15 Masehi di Aceh dan mendapat gelar yang amat terhormat dari Islam Nusantara, negeri ini dijuluki ”serambi Mekkah” suatu gelar yang penuh bernuansa keagamaan, keimanan serta ketaqwaan. Aceh merupakan tempat perdana masuknya Islam di nusantara, tepatnya di lokasi Pantai Timur Peureulak, serta Pasai. Dari Aceh Islam berkembang pesat ke seluruh nusantara hingga ke Philipina yang disebarkan oleh Mubaligh – Mubaligh Aceh, sebagian orang diantara Wali Songo yang membawa Islam ke Jawa datang dari Aceh, yaitu Maulana malik Ibrahim, Sunan Ngampel, serta Syarif Hidayatullah.

Sehubungan dengan itu, menurut ayikngalah.worpress.com disebutkan bahwa.

Islam sudah masuk ke Pulau Bali pada Abad ke 15 M. Ini dibuktikan saat Dalem Ketut Ngelesir menjabat sebagai Raja Gelgel pertama (1380 - 1460) dan mengadakan kunjungan ke keraton Majapahit. Saat itu, Raja Hayam Wuruk mengadakan pertemuan dengan kerajaan seluruh nusantara. Setelah acara tersebut selesai, Dalem Ketut Ngelesir pulang ke negerinya Bali diantar oleh empat puluh orang dari Majapahit sebagai pengiring, yang konon diantara mereka terdapat Raden Modin dan Kiyai Abdul Jalil. Peristiwa ini dijadikan patokan masuknya Islam ke Pulau Bali yang berpusat di Kerajaan Gelgel. Sejak itu agama Islam mulai berkembang hingga saat ini.

Dengan masuknya Islam ke Indonesia hingga daerah Bali oleh para mubaligh dilanjutkan oleh para wali, maka sejak itu umat Islam sudah hidup di Bali dan mengembangkan diri dengan berbagai kegiatan rohani hingga kini, dan menjadi rukun hidup berdampingan dengan umat lainnya dalam suasana ketenangan dan keharmonisan sehari – hari.
Menurut Bawa Atmadja, dkk dalam http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/264393 disebutkan bahwa.

”Berkaitan dengan masuknya pengaruh Islam, lewat kontak dagang maupun perantauan sehingga melahirkan pemujaan terhadap Dewa Pedagang Islam, roh leluhur yang beragama Islam yang disertai dengan pengembangan toleransi beragama yang sekaligus berarti menghindarkan Bali dari serangan kerajaan-kerajaan Islam. Toleransi bisa terjadi karena pedagang maupun perantau Islam yang masuk ke Bali bercorak Islam sinkretik. Hubungan antara orang Islam dan Hindu bisa pula diwamai oleh konflik yang berkahir pada pembunuhan. Berkenaan dengan itu bisa jadi Pelinggih Ratu Mekah terkait pula dengan usaha menghilangkan kutukan lewat pemujaan roh orang yang terbunuh. Pura sebagai tempat suci memiliki struktur, yakni halamannya terbagi menjadi dua, yakni jaba dan jeroan (Pura Dalem Mekah dan Pura Mekah)”

2.1 Eksistensi Pura Mekah

Keberadaan Pura Mekah menjadi pesona pihak luar wilayah Desa Ubung. Beberapa peneliti dari dalam dan luar Bali ingin melihat dari dekat keberadaan pura tersebut menjadi suatu hal yang luar biasa. Pura Mekah sesungguhnya adalah pura keluarga sehingga keberadaannya tidak begitu dikenal oleh orang-orang di Bali secara luas. Namun hanya karena terdengar aneh jika dibariskan beberapa nama pura yang ada di Bali maka cukup tertarik untuk ingin segera memahami pura itu yang sesungguhnya. Untuk mengetahui lebih jelas ada beberapa foto – foto yang berkaitan dengan Pura Mekah akan disampaikan di bawah ini.

2.1.1 Pura Mekah

Menurut Putu setia, dalam http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2002/11/9/bd2.html disebutkan bahwa.
”Kata "Mekah" yang ada dalam Ratu Gede Dalem Mekah bukan kota suci Mekah di Arab Saudi sekarang ini, tetapi desa Mekah yang ada di Probolinggo atau Mojokerto atau mungkin nama yang mirip itu di pelosok Bali. Dengan begitu Gede Dalem Mekah hanyalah Mpu Tanrupa atau Ki Ngelawang yang datang dari Majapahit, sehingga tak apa-apalah sekarang dipuja dengan sesajen khas Hindu.”



Gambar 2.1 Pura Mekah

Pura Mekah dari tampak depan terdiri atas gapura yang berbentuk paduraksa. Dikatakan demikian karena pintu gapura tersebut berpadu menjadi satu yang maknanya adalah bersatunya purusha dan pradana. Purusha melambangkan pria dan pradana melambangkan wanita, merupakan adanya persatuan antara kekuatan dan kesaktian. Dengan persatuan tersebut dan melalui ritual setiap 6 bulan sekali atau 210 hari, tepatnya 20 hari sebelum Hari Raya Galungan yaitu jatuh pada Wrhaspati Kliwon Warigadean, maka paduraksa tersebut mempunyai nilai dengan kekuatan magis.

 

Gambar 2.1.2 Pelinggih Ratu Gede

 

Gambar 2.1.3 Pelinggih Ratu Ayu

 

Gambar 2.1.4 Pelinggih Gedong Ratu Gede


Pelinggih Ratu Gede Bagus merupakan tempat bersthana dan berkumpulnya para dewa ketika ada rapat besar (paruman) juga Beliau sebagai pemimpinnya para dewa yang bersthana di Pura Mekah. Pelinggih Ratu Ayu tempat bersthananya Para Dewi yang menciptakan kesuburan lingkungan, termasuk kesejahteraan keluarga dan masyarakat Desa Ubung dan Pelinggih Gedong Ratu Gede Dalem Mekah tempat bersemayam atau istirahatnya para dewa atau leluhur yang beragama Islam.

2.1.5 Pelinggih Gedong Artha, Pelinggih Pengenter Kiwa, Pelinggih Ratu Ayu dan Pelinggih Pengenter Tengen.

 

Gambar 2.1.5
Gambar Pelinggih Gedong Artha , Pengenter Kiwa, Ratu Ayu, Pengenter Tengen

Pelinggih Gedong Artha merupakan bangunan suci tempat bersthananya para dewa atau juga bersthananya Dewa yang menguasai harta kekayaan dan kemakmuran wilayah tersebut. Pelinggih Pengenter kiwa lan tengen merupakan tempat bersthananya roh halus atau satpam yang menjaga berada di lingkungan Pura Mekah. Pelingggih Ratu Ayu tempat bersthananya para dewi di lingkungan Pura Mekah tersebut. Jadi semua Dewa Dewi yang bersthana di bangunan suci tersebut memiliki tugas dan kewajiban seperti halnya manusia pada umumnya untuk berkegiatan dan juga mempertanggungjawabkan tugas itu kepada Hyang Widhi dan anugerah yang diterima penduduk wilayah tersebut diterima sesuai dengan hasil perbuatan / kegiatannya masing –masing / karma wasananya setiap warga lingkungan itu.

2.1.6 Bale Tajuk (depan kiri ) dan Pelinggih Hyang Kawitan Arya Kepakisan (depan kanan)



Gambar 2.1.6
Bale Tajuk (depan kiri) & Pelinggih Hyang Kawitan Arya Kepakisan (depan kanan)

Bale Tajuk atau disebut juga tahajuk / tengah merupakan balai tempat menaruh sesajen yang akan diupacarai ketika hari piodalan tiba. Penduduk setempat mengatakan bahwa balai itu tempat idang / tempat menghidangkan sarana untuk para leluhur yang khususnya beragama Islam. Sedangkan Pelinggih Hyang Kawitan Arya Kepakisan merupakan bangunan suci tempat untuk berdoa kepada leluhur sebagai pendiri dan sekaligus pusat untuk bersembahyang khususnya warga / marga Arya Kepakisan di lingkungan itu hingga bisa menjaga keturunannya agar selamat dari segala sesuatu hal yang sifatnya negatif.

Menurut Naskah / Lontar Prasasti Pura Mekah pada naskah lampiran 1a – 1b, (2007 : 26) disebutkan bahwa.
”Om Awighnam Astu Namo Sidham, Namah Swaha.
Dengan menyeru kebesaran Tuhan, semoga terhindar dari segala rintangan dan semuanya berhasil tercapai. Adapun Leluhur Sri Arya Kepakisan yang tinggal di Bali adalah keturunan Aryeng Kadiri, Putra dari Kameswara keturunan dari Dharmawangsa Goa Danta Dandang Gendis, beliau Ratu Dandang Gendis seorang perwira yang gugur dalam peperangan. Aryeng Kadiri yang merupakan putra dari Jayasabha berputra Arya Kepakisan, beliaulah yang datang ke Bali diiringi oleh rakyat dan memerintah banyak rakyat. Arya Wangbang Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Kanuruhan beserta beliau Wangbang Tan Kober, Tan Kawur, Tan Mundur dan terakhir Arya Kutawaringin semua menyertai. Arya Kepakisan berputra Pangeran Asak dan Buhaya (Nyuh Aya). Pangeran Nyuh Aya berputra tujuh orang. Putra Sulung bernama Patandakan, kemudian Satra, Pelangan, Akah, Keloping, Cacaran, dan Anggan. I Gusti Petandakan berputra empat orang, putra tertua bernama Gusti Batan Jeruk, Adiknya Gusti Bebengan, Gusti Tusan dan Gusti Gunung Nangka. Adapun Gusti Satra berputra SangHyang Marep Kanginan dan Sang Hyang Marep Kajanan .................

Demikianlah asal usul dari Arya Kepakisan yang diperoleh dari Prasasti naskah / Lontar Pura Mekah. Leluhur Arya Kepakisan tersebut di tempatkan pada bangunan suci / pelinggih yang telah disediakan di lingungan Pura Mekah untuk digunakan keturunannya hingga kini dalam menghaturkan sesaji dan tempat berdoa bagi semua keluarga keturunan Arya Kepakisan di Banjar Binoh, Ubung kaja Denpasar.

2. Keunikan Pura Mekah

Menurut Bawa Atmadja dkk dalam http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/264393 disebutkan bahwa.
”Pura maupun pelinggih berorientasi ke gunung atau ke arah matahari terbit (arah sacral). Kecuali Pura Mekah Binoh, rangkaian ritualnya ada yang berkiblat ke barat (Mekah, Jawa).”

Setiap pura memiliki keunikan tersendiri yang membedakan dengan pura yang lainnya. Keunikan tersebut bahkan membedakan dari tradisi umat Hindu yang biasanya dilakukan di masing-masing pura di wilayah Bali. Hal yang terjadi pada umumnya adalah umat Hindu biasa menghaturkan sesajen yang salah satu isinya berupa daging babi. Selanjutnya dilakukan persembahyangan ke arah timur atau arah terbitnya matahari serta arah utara yang disimbolkan sebagai arahnya gunung. Karena utara dan timur, baik matahari maupun gunung adalah tempat yang sangat suci dalam pandangan Hindu. Bukan tempat atau arah lainnya tidak suci namun arah timur atau matahari merupakan arah tempat memuja dewa Matahari / Dewa Surya yang menyinari seluruh alam semesta beserta isinya. Begitu pula arah utara yang merupakan arahnya dewa Wisnu yang berlambangkan air. Sedangkan air pusatnya di gunung. Gunung juga tempat untuk dipujanya arwah para leluhur yang telah dibuatkan upacara ngeroras / memukur. Karena setelah upacara itu arwah leluhur semua bersthana di gunung, sehingga gunung dan matahari merupakan arah yang paling suci dalam kepercayaan agama Hindu. Disamping itu, umat Hindu tidak mengenal adanya sunatan. Sehubungan dengan hal itu berikut dijelaskan adanya ketentuan haram untuk mempersembahkan daging babi, tatacara sembahyang ke arah barat dan dilakukannya yang disebut sunatan, semua itu yang berada di wilayah lingkungan Pura Mekah yang membedakannya dengan pura yang lain dibahas sebagai berikut.

2.1 Haram Menghaturkan Daging Babi

Umumnya sebelum upacara dilaksanakan di suatu pura di Bali, biasanya dilaksanakan gotong royong secara bersama-sama warga pura itu dan menikmati hidangan daging babi yang sebelumnya dihaturkan pula di beberapa bangunan suci secara tradisi telah terlaksana dengan baik. Namun berbeda dengan situasi upacara di Pura Mekah yang haram untuk mempersembahkan daging babi. Hal itu senada diungkapkan oleh Kanduk Supatra,
http://kanduksupatra.blogspot.com/2015/07/pura-mekah-pantang-menghaturkan-daging.html

”Ada pula yang unik di sini adalah setiap rerahinan atau piodalan di pura Mekah, maka semua haturan atau sesaji pantang menggunakan ulam bawi atau daging babi. Entah ini ada kaitannya dengan nama pura Mekah dengan daging babi.

Hal senada disebutkan pula dalam http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/264393 yaitu.
”Ada kesamaan pada pura/pelinggih ini, yakni haram mempersembahkan daging babi. Pura/pelinggih memiliki aneka fungsi, bergantung pada jenisnya. Pura Dalem Mekah dan Pura Mekah adalah pura keluarga yang berfungsi sebagai tempat memuja roh leluhur yang beragama Islam. Hindu, dan dewa-dewa Hindu.”

2.2 Sembahyang Berkiblat ke Arah Barat

Sehubungan dengan keunikan lain, maka Kanduk Supatra dalam blogspotnya mengungkapkan dalam http://kanduksupatra.blogspot.com/2015/07/pura-mekah-pantang-menghaturkan-daging.html sebagai berikut.

”Yang unik lagi bahwa setiap odalan yang jatuh pada Wraspati Kliwon Warigadean dilakukan upacara sebagaimana mestinya, termasuk pemuspaan. Namun setelah prosesi piodalan berakhir, maka dilanjutkan dengan ngaturang idangan yang terdiri dari berbagai jenis jaja cacalan dan raka-raka atau buah. Diiringi dengan puja astawa dari pemangku. Diiringi tarian dengan mengitari banten hidangan tersebut sambil membawa tumbak dan kadutan. Namun yang lain dari pada yang lain adalah prosesi nganteb atau mengayat tersebut menghadap ke Barat. Konon menurut I Made Kerti, bahwa pengayatan tersebut dilakukan ke Jawi atau Jawa sebagai asal dari para leluhur mereka. Ada yang konon mengatakan dari Jawa, dari Solo, dan bahkan ada yang mengatakan dari Madura. Yang jelas kiblat mereka menghaturkan hidangan tersebut adalah menghadap ke Barat. “

Seperti yang disebutkan di atas, menurut Jro Mangku Ketut Suartha, pensiunan Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung mengatakan bahwa setelah upacara piodalan dilakukan menghadap ke timur, selanjutnya sesajen yang diletakkan di Pelinggih Tajuk / Bale Tajuk yang disebut idangan, yang paling banyak jumlahnya berupa jajan seperti jajan suci yang bentuknya seperti di bawah. Jenis jajan tersebut menghiasi sesajen yang telah siap dipersembahkan, lalu diturunkan dan diletakkan pada sebuah pelangkaan / seperti tempat tidur yang berukuran 2x2 meter. Di atasnya ditaruh tiker dengan ukuran yang sama dan sesajen pun digelar disusun sesuai dengan aturan yang telah ditentukan sebelumnya. Suguhan / hidangan dihaturkan menghadap arah barat dan sembahyang seluruh keluarga pun menghadap ke barat, yang diiringi tarian tombak dan keris yang mengelilingi sesajen tersebut dan tarian yang lain yang meramaikan suasana. Upacara berlangsung sekitar dua jam, yang diakhiri dengan ngelungsur / mengambil kembali sesajen yang telah dipersembahkan untuk dibagikan dan harus dinikmati walau sedikit saja oleh semua anggota keluarga, selanjutnya upacara dinyatakan selesai. Berikut foto-foto yang terkait dengan sesajen di Pura Mekah.

  


Foto – Foto Jajan yang terkait upacara di Pura Mekah

2.3 Terjadinya Situasi yang Berakibat Sunatan

Menurut Kanduk Supatra dalam http://kanduksupatra.blogspot.com/2015/07/pura-mekah-pantang-menghaturkan-daging.html
”Made Kerti didampingi keponakannya I Ketut Murnia bercerita. Ada sesuatu yang unik memang di keluarga kami. Hampir setiap KK ada saja salah seorang yang mengalami sakit gangguan perkencingan yakni lubang kencingnya kecil, sehingga menyulitkan untuk membuang air seni. Akhirnya kemudian dilakukan operasi pemotongan kulit alat kelamin alias sunat. Dan setelah itu normal kembali.

Hal senada disebutkan pula oleh Jro Mangku Ketut Suartha dan menantunya Suwaryani, menjelaskan bahwa ada saja terjadi pada masing- masing keluarga yang pada akhirnya harus ke dokter untuk dipotong lapisan luar ujung dari kelamin pria / penisnya. Kejadiannya berbeda – beda. Ada yang karena tidak bisa kencing yang disebabkan karena lubangnya kecil, dan ada pula yang bengkak dengan tiba-tiba sehingga harus cepat dioperasi. Dengan kisah tersebut pada akhirnya harus dipotong / dioperasi ke dokter. Hal itu biasanya disebut dengan disunat. Setelah sunatan dilaksanakan maka situasi orang tersebut normal kembali.

3. Makna Pura Mekah tersebut dalam kehidupan warga di Banjar Binoh Denpasar

Sebagaimana diketahui bahwa Pura Mekah yang ada dan sudah menjadi tradisi secara turun temurun diupacarai setiap enam bulannya / 210 hari oleh setiap warga Arya Kepakisan di lingkungan Banjar Binoh, Desa Ubung Kaja, Kota Denpasar. Tentunya pelaksanaan upacara itu tidak sekedar dilaksanakan oleh krama atau anggota banjar yang khususnya warga Arya Kepakisan, namun implementasi upacara tersebut mempunyai makna yang cukup berarti bagi warga Pura Mekah itu sendiri. Makna yang tersirat atau yang menjadi pedoman hidup warga Arya Kepakisan telah mendarah daging pada lingkungan keluarga besar tersebut, sehingga upacara yang hadirnya enam bulan sekali itu tidak pernah ditiadakan. Justru tetap dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh seluruh krama / anggota keluarga Arya Kepakisan. Makna – makna dilaksanakan upacara itu diungkap seperti dibawah ini.

3.1 Makna Keselamatan
Setiap anggota dari keluarga Arya Kepakisan selalu ikut dalam upacara dan memelihara serta melestarikan keberadaan Pura Mekah yang sudah sejak masa lalu diciptakan. Dalam kehidupan sehari –hari tentunya selalu berhadapan dengan berbagai hal baik yang sifatnya positif maupun negatif. Untuk menjalani kehidupan yang harmonis baik dari diri sendiri, keluarga maupun antar keluarga hingga lingkungan kita berada, maka diharapkan agar berjalan dengan tenang tanpa ada beban. Untuk terwujudnya hal itu, maka melalui keikutsertaannya di dalam kegiatan upacara dan mempercayai segala sesuatu yang ada dari masa lalu di Pura Mekah tersebut, umat Hindu di lingkungan itu dengan ketulusan hati dan keyakinan yang tinggi bahwa dengan melaksanakan upacara dengan baik maka akan mendapat keselamatan dan ketentraman hidup dari Hyang Widhi dan para dewa yang bersthana di Pura Mekah. Seperti Sloka Regveda IV.53-6, dalam Maswinara (1999 : 153) disebutkan sebagai Pemberi Hidup bahwa.
”Tuhan Yang Maha Pengasih, yang memberi kehidupan (pada alam dunia). Dan menahannya dalam ketenangan; ia yang mengatur baik
yang bergerak dan yang tak bergerak; Semoga Savita Yang Kuasa, memberikan anugerahNya kepada kami; Untuk ketentraman hidup,
dengan tiga penghalang terhadap kejahatan.”

Melalui pemahaman sloka tersebut, dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan rasa bahagia dan penuh ketentraman batin semua umat di dunia, dengan menundukkan musuh, mencegah terjadinya kejahatan, serta memecahkan penghalang cahaya dan mampu meraih sinar suci Tuhan yang gemerlap penuh keindahan.

3.2 Makna kesejahteraan
Semangat kegotongroyongan warga Arya Kepakisan di Banjar Binoh dalam mengisi kehidupan sehari – hari tidaklah surut. Karena dengan semangat itu semua bisa memenuhi kehidupannya dengan segala keperluannya untuk bekal di masa depan. Melalui upacara yang dilakukan di Pura Mekah dan adanya Pelinggih Gedong Artha, maka sesungguhnya para dewa yang bersthana di pura tersebut adalah dewa yang merupakan manifestasi Tuhan sebagai Dewa kemakmuran, begitu pula di lingkungan Pura Mekah terdapat bangunan suci tempat memuja leluhur Arya Kepakisan. Dengan adanya bangunan suci itu dan para leluhur yang bersthana di sana, merupakan tempat yang sangat baik untuk dilakukannya sembah bhakti kehadapan leluhur dengan tulus ikhlas. Karena kepada beliau pula merupakan salah satu jalan untuk bisa terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua anggota keluarga Arya Kepakisan. Hal itu terungkap dalam Yayur Veda VI.31 dalam Maswinara (1999 : 266) yang menyebutkan bahwa.
”Puaskanlah pikiran kami, puaskanlah perkatan kami, puaskan kekuatan kami,
puaskan mata kami, puaskan telinga kami,
puaskan jiwa kami, puaskan keturunan kami, puaskan ternak kami,
puaskan rakyat kami, agar rakyat kami tidak kehausan.”

Sloka di atas berdoa kepada Tuhan agar melalui upacara yang dilaksanakan di Pura Mekah tersebut setiap 6 (enam) bulannya, maka agar pikiran, perkataan, kekuatan, mata, telinga jiwa, keturunan, ternak, serta rakyat selalu dalam situasi puas yaitu cukup sandang, pangan, maupun papan yang bisa terpenuhi kebutuhan hidupnya sehingga kesejahteraan bisa terwujud tanpa adanya permasalahan di lingkungannya berada.

3.3 Makna Kesuburan
Kehidupan masyarakat di Banjar Binoh sehari – hari biasanya dikenal sebagai pembuat pot bunga, kendi, celengan dari tanah liat. Namun masih banyak pula yang bekerja di tempat lain baik sebagai pegawai, karyawan toko, restoran, hotel, juga sebagai pegawai negeri sipil, guru serta dosen, dan sebagainya. Disamping itu petani juga ada. Sawahnya cukup luas dan sekarang sudah banyak dijadikan perumahan. Walaupun demikian, ada pula pertanian yang lainnya masih tetap utuh dan dipelihara serta dilestarikan kepada anak cucunya. Kesuburan pertanian tersebut tidak terlepas dari usaha petani untuk mengerjakan sawahnya dengan penuh semangat dan tidak lupa pula selalu menghaturkan sesaji kepada para dewa yang bersthana di Pura Mekah dengan harapan agar berkah selalu dilimpahkan kepada keluarga serta keturunannya kelak. Hal itu terkait dengan sloka Reg Veda II.41.16 dalam Maswinara (1999 : 188) menyebutkan bahwa.
” Ibu yang paling utama, sungai yang paling mulia, Devi yang paling utama,wahai Saraswati,
kami yang tidak memiliki reputasi, ya ibu berilah kami kemasyuran.

Yang termulia adalah doa kepada ibu, baik ibu kita sendiri, ibu alam semesta, ibu pertiwi yang selalu menjadi tempat manusia berpijak, juga Dewi Sri, dan Dewi Uma Parwati karena melalui beliaulah manusia di dunia ini selalu mendapatkan kebahagiaan baik lahir maupun batin termasuk segala hal yang terkait dengan kesuburan beliaulah sumbernya yang maha agung. Hendaknya sebagai manusia tunduk hati dan penuh keyakinan akan keberadaanya sehingga bisa digunakan untuk diri sendiri, keluarga hingga bagi yang memerlukan di dunia ini. Sebagai dasar amal untuk dunia akhirat.

3.4 Makna Kerukunan dan Kebersamaan
Selama ini warga Banjar Binoh Desa Ubung Kaja, selalu dalam situasi yang penuh kerukunan dan kebersamaan dalam berbagai hal termasuk ketika upacara dilaksanakan di Pura Mekah yang notabena masih terkait dengan tata cara umat Islam, namun warga atau penduduk Banjar tersebut tidak merasa mengeluh atau keberatan dengan tata cara tersebut karena tidak ada pelaksanaan seperti itu di pura mana pun di Bali secara umum. Tapi warga di sana selalu dalam ketenangan dan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Diyakini bahwa melalui persembahan dan ketulusan hati umat untuk berdoa juga bermasyarakat maka kemakmuran, keselamatan hingga selalu rukun penuh kebersamaan. Begitu pula dalam Ayur Veda III.30, 1-3 dalam Maswinara (1999 : 250) disebutkan bahwa.

”Aku akan menjadikan engkau satu hati, satu pikiran dan tanpa rasa benci, saling mencintai laksana sapi mencintai anaknya. (1) Agar
putra patuh kepada ayah dan menjadi satu pikiran dengan ibunya, agar istri berkata lemah lembut kepada suaminya. (2) Agar sesama
saudara tidak saling benci, pikiran bulat, satu tujuan, berbicara dengan ramah tamah. (3)”

Demikianlah bunyi sloka di atas yang menuntun dan mengarahkan manusia agar senantiasa hidup selalu rukun berdampingan, tidak mengenal adanya rasa benci, menyakiti satu sama lainnya, namun pikiran diusahakan selalu bulat dengan tujuan yang satu dan sama, diupayakan pula berbicara yang sopan dan ramah tamah dan tidak adanya ketersinggungan perasaan antar keluarga dan masyarakat sekitarnya sehingga makna kerukunan dan kebersamaan terwujud dengan indahnya. Semoga asungkara, amien..........

DAFTAR PUSTAKA

  • Andhewi, Ni komang Any Manik. 2015. Skripsi. ”Eksistensi Pura Grhya Ghiri Taksu Dwijendra Di Desa kamasan Kabupaten Klungkung (Perspektif Pendidikan Agama Hindu). Denpasar : Fakultas Dharma Acarya IHDN.
  • Atmadja, I Nengah Bawa, dkk. 2008. Penelitian Fundamental. ”Pura Mekah Di Bali : Haram Mempersembahkan Daging Babi.” Singaraja : Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Ganesha.
  • Dewi, Ni Luh Putu Riska Prastika. 2015. Skripsi. ”Eksistensi Pura Dalem Ayu Di Desa Pakraman Pulukan Kecamatan Pekutatan Kabupaten Jembrana.” Denpasar : Fakultas Brahma Widya IHDN.
  • Ghazali, Adeng Muchtar. 2011. Antropologi Agama Upaya Memahami Keragaman Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama. Bandung : Alfabeta.
  • Kaelan. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora. Yogyakarta : Paradigma
  • Maswinara, I Wayan. 1999. Panggilan Veda. Surabaya : Paramita.
  • Pratama, Bagus Gede Doddy. 2009. “Makna Filosofis Bajra Uter dalam Caru Panca Kelud di Desa Pejaten, Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan.” Denpasar : Fakultas Brahma Widya IHDN.
  • Sivananda, Sri Swami. 2003. Intisari Ajaran Hindu. Denpasar : Paramita.


PUSTAKA INTERNET

  • ikiopo.com
  • ayikngalah.worpress.com
  • http://kanduksupatra.blogspot.com/2015/07/pura-mekah-pantang-menghaturkan-daging.html
  • http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/264393
  • http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2002/11/9/bd2.html

PUSTAKA NASKAH / LONTAR

  • Suarbhawa, I Gusti Made. I Nyoman Sunarya. I Made Geria. 2007. Laporan Penelitian Arkeologi. ”Prasasti Lontar
  • Pura Mekah, Banjar Binoh Kaja, Desa Ubung Kaja, Kota Denpasar.” Denpasar : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Arkeologi.



    Komentar Via Website : 0 Komentar
    Leave a Comment