Jejak Nalar

Senin, 11 Juli 2016 dini hari, kesebelasan Portugal mengalahkan tim Perancis 1-0 pada menit ke 109. Di awal turnamen Piala Eropa 2016, Portugal yang terpincang-pincang bak peminta-minta yang melipat kaki dan mengikatnya, tetapi segera berlari kencang saat petugas Satpol PP bersiap menangkapnya, menerjang tumbang siapapun yang menghadangnya. Siapa yang menduga hal itu justru diderita tim yang tidak terkalahkan sampai babak semifinal? Padahal jika sedikit dicermati, dimulai dengan runtuhnya kutukan sejarah kesebelasan Jerman yang lebih sering jadi pecundang jika berhadapan dengan Italia, kali ini justru Italia pecundangnya. Begitu juga Perancis yang punya sejarah kelam dengan seringnya mereka rata dengan tanah dilindas panzer, kali ini panzernya meledak terkena dinamit Perancis. Jadi, tidak salah juga jika sekiranya berharap Portugal yang nyaris selalu kalah saat berhadapan dengan Perancis, ikut2an membuat sejarah dengan memenangkan pertandingan sekaligus merampas piala Eropa 2016, yang separuhnya sudah di saku tim Perancis. Mungkin persoalannya ada pada unsur kejiwaan. Sebab pemenang biasanya merasa lebih superior jika berhadapan dengan para pecundang yang sama. Jadi lengah dan bersandar pada suratan sejarah nasib. Sementara itu, justru para pecundang yang intens belajar mencari jimat solusi dan tak peduli pada catatan masa silamnya. Dini hari itu, kesalahan bek Perancis yang tadinya menempel ketat kemudian meninggalkan Ederzito Lopez alias Eder sendirian mencari ruang tembak, berakibat fatal. Bola yang menderu diagonal dan memantul tipis di permukaan lapangan hasil tendangan kaki kanannya ke sudut kanan gawang, tak terjangkau kiper. Buah nalar atau instink Ederkah gol hebat itu? Resultante keduanya!

Begitu juga rupanya dengan sejarah Tri Darma PT, khususnya PPM. Dosen yang seharusnya menjadi para aktor lapangan pasti terbilang jenius. Akan tetapi sejarah mencatat bahwa para jenius abai pada kawasannya. Yang sudah mulai acuh, terpasung pada keilmuannya sendiri sekaligus arogansi almamaternya. Yang sudah menjadikannya sebagai amal jariah juga lupa bahwa PPM tidak hanya berkutat pada aksi dan perbaikan komoditas semata. Akan tetapi harus juga ikut mengasah dan mempertajam kemampuan mengekstraksi dan menyulam empirik lapangan menjadi suatu strategi kawasan. Mirip halnya dengan metode Pembinaan Teritorialnya TNI AD. Lalu, muncullah produk impor itu, PARTICIPATORY RURAL APPRAISAL (PRA). Suatu strategi yang membuahkan Social- dan Resource Map. Akan tetapi, benarkah PRA ini kemudian menjelma menjadi roh PPM NKRI? Mengubah sejarah PPM PT? Ternyata tidak juga. Jika disimak pada setiap usulan PPM PT (khususnya IbW ataupun sejenisnya) ke pihak manapun, maka terungkap semua data yang meliputi empat potensi kawasan, yaitu 1) lahan dan sumber daya alam, (2) sumber daya manusia, (3) fasilitas umum dan (4) komoditas. Akan tetapi, akankah semua data kemudian mengalami nasib seperti yang direkomendasilan PRA? Tidak juga. Data itu masih menjadi kembang usulan dan bukan basis pemandu arah konvergensi gerak administratif dan lapangan. Apa yang terjadi kemudian? Data tidak dianalisis, tidak dibahas bersama antara para aktor dan warga. Data tinggallah data sebab apa yang dinamakan social map dan resource map tidak akan pernah teridentifikasi di dalamnya. Apalagi jika usulan itu membawa misi PPM ke UKM, maka PRA sama sekali tidak terlintas. Lalu manakah fokus utama PPM PT, warga miskinkah atau UKM atau bahkan industri pemilik dana CSR dan SME? Perlukah PRA bagi ketiga jenis mitra itu? Semakin ke arah industri, PRA makin tidak diperlukan. Sebab persoalan industri yang dibeberkan ke PT sudah sangat fokus dan menuntut kepakaran spesial. UKM sendiri lebih menampilkan persoalan proses produksi dan komoditas daripada unsur tenaga kerjanya. Jadi jenius PT memandang PRA tidak begitu perlu, meskipun kualifikasi SDM UKM terdistorsi jauh dari yang seharusnya. Akan tetapi saat para jenius berhadapan dengan kompleksitas persoalan masyarakat, baru teringat akan PRA dan mencoba menerapkannya.

Namun terlepas dari PRA itu sendiri, umumnya pemilik dana CSR dan SME lebih menyukai membantu UKM daripada warga atau masyarakat yang kehidupannya cedera. Sebab persoalan dan pekerjaan UKM lebih fokus dan mudah diukur, sehingga akurasi jangka waktu pelaksanaan lebih mudah diprediksi. Akan tetapi berapa banyak dana CSR dan SME yang disalurkan bagi masyarakat yang kehidupannya cedera dan juga level kemanfaatannya? Jika rasio keduanya 50% saja, itu sudah menunjukkan kebijakan perusahaan yang luar biasa. Mengapa? Sebab mengubah paradigma terpinggirkan dan ketidakberdayaan masyarakat yang kehidupannya cedera, pada kebisuan semesta di sekitarnya, luar biasa sukar. Meskipun indikator keberhasilannya masih bisa diukur! Akan tetapi, jika kemudian muncul pertanyaan “berapa lama durasi waktu yang diperlukan untuk membawa mereka pada level percaya pada kemampuan diri dan pemahaman akan respon semesta?” Siapakah yang mampu menjawabnya secara akurat? Sebab dinamika kehidupan akan selalu menuntut kemahiran kompetitif untuk meningkatkan kompetensi, dan tidak hanya semata daya beli mereka.

Menumbuhkan keberanian masyarakat untuk memasuki kemakmuran kehidupan sebaiknya tidak hanya dilakukan bagi sekelompok manusia dengan luasan lahan terbatas. Akan tetapi skala pertumbuhan itu mesti dilipatluaskan sampai pada level desa. Jangan lupa juga untuk menemukan strategi pertumbuhan kemakmuran antar desa sehingga satu desa dan desa lainnya saling berkontribusi positif dalam banyak aspek kehidupan. Jika sudah demikian halnya, maka kemakmuran kehidupan di desa akan lebih memikat ketimbang menghirup polusi atmosfer kota. Akan tetapi, yang sebenarnya meresahkan adalah mengapa metode yang diterapkan ke masyarakat NKRI selalu mengacu kepada produk impor? Tidak adakah aktor lapangan termasuk para reviewer yang mampu mendesain strategi khas NKRI?

Sejarah PPM PT masih mengabaikan aspek sosial budaya, sebab itu yang mendominasi PPM PT adalah para aktor sains, rekayasa dan pertanian (dalam arti luas). Padahal ketiadaan aspek tersebut ditengarai sebagai penyebab kegagalan aktivitas kemasyarakatan yang disampaikan via PPM PT. Sebenarnya, aspek sosial budaya masyarakat bisa dengan cepat teridentifikasi, jika saja interaksi dan sinergisme keempat potensi kawasan segera dianalisis dan hasilnya dibahas bersama menuju terumuskannya social- dan resources map. Berbasis keduanya inilah, strategi dan operasional program PPM PT disusun dan dilaksanakan. Kekuatan intelektual masyarakat dan produknya akan tercermin melalui roh dan produk local geniusnya. Local genius bagi masyarakat bukanlah sesuatu yang bersifat luar biasa. Sebab itu semua sudah mendarah daging, berurat berakar pada dirinya. Sudah mentradisi, meskipun belum tercerna nalarnya. Akan tetapi kekuatan ini justru yang menjadi niskala (tak teramati) bagi para jenius PT, yang lebih fokus pada angka. Padahal kekuatan sosial budaya itulah esensi dari sebuah PPM dan daya rekam akan hal itu merupakan kemahiran yang wajib dimiliki para jenius PT. Jika sudah demikian halnya, maka PPM PT bisa dikatakan memulai sejarah baru dengan melibatkan para jenius di bidang sosial budaya dan humaniora. Dengan begitu, tim PPM PT menjadi komplit, layaknya kesebelasan ternama dunia yang mengandung unsur2 kepakaran heterogen dan sangat diperlukan untuk mencapai kinerja puncak. Kinerja yang meninggalkan jejak nalar dan manfaat.

Cidamar Permai Kav. 3, 13 Juli 2016
SNS



    Komentar Via Website : 0 Komentar
    Leave a Comment